wowbetawi.com – KOTA Betawi yang kini dikenal dengan nama Jakarta adalah salah satu kota yang terbesar di Indonesia, kota yang mengalami berbagai proses perubahan nama dan sejarahnya, kota yang dengan gigih menantang zamannya!

Pada tanggal 30 Me 1619 dengan cara yang kurang ajar dan membabi-buta jan Pieterzoon Coen telah menyerbu dan membakar kota Jayakarta, dan dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa yang berdiam di kota tersebut. Di atas runtuhan-runtuhan puing danbangkai inilah hendak didirikannya kota baru Nieuw Hoor, karena dia sendiri dilahirkan di Hoorn.

Sejak tanggal 12 Maret 1619 atas perintah “de Heeren Zeventien” (Pengurus harian VOC yang terdiri dari 17 orang dan disebut juga Dewan XVII) kota Jayakarta dinamakan Batavia, tempat tinggal orang-orang Bataaf (Belanda). Rencana Coen menjadikannya kota ini koloni kulit putih. Pada masa itu terdapat banyak orang laki-laki Belanda, sedangkan kaum wanitanya sangat sedikit, maka Coen telah menganjurkan “De Heeren Zeventien” untuk mendatangkan perempuan-perempuan yatim ke Batavia; rencana ini ditolak “De Heeren Zeventien” yang hanya ingin menjadikan kota Batavia ini sebagai pusat perdagangan belaka.

Orang-orang Batavia Dibujuk Bermukim di Batavia

Setelah didudukinya kota Jayakarta, Coen membutuhkan amat banyak tenaga untuk membangun sebuah kota baru. Orang-orang kompeni pada masa itu sangat sedikit jumlahnya, lagi pula mereka kebanyakan terdiri dari avonturis yang tak dapat bekerja dengan baik, sedangkan penduduk pribumi tak senang berdiam di Batavia, maka mereka kebanyakan telah melarikan diri ke daerah-daerah pedalaman, sehingga tenaga mereka tak dapat dipergunakan. Demikianlah Coen terpaksa menggunakan tenaga orang-orang Tionghoa yang dibujuk atau kalau perlu denganjalan paksaan untuk berpindah ke kota Batavia (Dr. H. T. Colebrader, “J.P. Coen deel III). Prof. Bernar H.M. Vlekke dalam “Nusantara”-nya pun menyatakan kalau tak ada orang-orang Tionghoa kota Batavia mungkin tak dapat dibangun.

Baca juga: Syeikh Quro, Ulama Betawi Pertama

Dalam tahun 1618 orang-orang Tionghoa yang bermukim di Batavia hanya berjumlah 800 orang, tapi sepuluh tahun kemudian jumlah ini meningkat menjadi 2000 orang. Untuk menjaga ketertiban dan supaya lebih mudah lagi menguasai orang-orang Tionghoa ini, Coen mengangkat kepala di antara mereka dengan gelar “kapitan”, yang tak digaji dan mendapat penghasilannya dari persentasi pajak dan sebagainya.

Orang Tionghoa di Indonesia Sebelum Coen Menduduki Jakarta

Perhubungan antara Indonesia dan Tiongkok secara extensif telah mulai berlangsung sejak jaman prasejarah. Pada kira-kira permulaan tarikh Masehi sewaktu Tiongkok berada di bawah pemerintahan kerajaan Han, orang-orang Tionghoa telah mengenal kepulauan Indonesia. Lebih-lebih waktu kerajaan Sriwijaya di palembang makin banyak orang-orang Tionghoa yang mengunjungi Indonesia. Maksud mereka yang terutama ialah mengunjungi India untuk mempelajari Agama Buddha, dan selalumereka singgah di Palembang terlebih dahulu, yang pada waktu itu juga menjadi pusat pelajaran Agama Buddha di kepulauan Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang di antaranya adalah Fa Hsien dan Ie Tsing, yang catatan-catatannya sangat penting dan berharga bagi ahli sejarah yang ingin mengetahui keadaan Indonesia di Zaman dahulu. Lambat laun perhubungan antara Indonesia dan Tiongkok ini makin erat, dan pada abad ke-XVI sudah banya orangorang Tionghoa di Maluku yang berniaga dengan penduduk Pribumi.

Baca juga: Riwayat Kampung Betawi dan Bergesernya Tradisi

Pada akhir abad ke XVII orang-orang Tonghoa sudah banyak yang bermukim dan berniaga di Banten dan Jayakarta, mereka merupakan bagian masyarakat yang terpenting di kota-kota tersebut. Mereka berusaha sebagai saudagar, petani, nelayan, tukang jahit, tukang kayu, tukang batu, dan terutama sebagai levelansir arak.

Di Jayakarta mereka diberikan sebidang tanah yang tertentu letaknya di pantai timur dari muara Kali Ciliwung, di atas tanah ini mereka berdiam dan berumah tangga. Tetapi kemudian mereka diusir oleh bangsa Belanda ke suatu tempat di sebelah selatan yang kini dikenal sebagai “China Town” – “Glodok”

Penghidupan orang-orang Tionghoa ini umumnya lebih dari lumayan, setelah J.P. Coen memusnahkan Jayakarta mereka baru menjadi faktor terpenting dalam pembangunan kota baru yang dinamakan “Batavia” atau “Kota Betawi”.

Mempergunakan Tenaga Orang Tionghoa

Semula Batavia hanya terdiri dari beberapa “kasteel” – kantor Belanda yang diperbentengkan dan dikeliling sebidang tanah di sekitarnya – seperti telah dikatakan di atas bahwa guna membangun kota yang baru ini dibutuhkan tenaga orang-orang Tionghoa, karena orang-orang Pribumi kebanyakan melarikan diri ke daerah pedalaman; sedangkan orang-orang Kompeni sendiri kebanyakan terdiri dari kaum avonturir yang di negerinya sendiri sudah dianggap sebagai “sampah masyarakat” , yang sedikitnya tidak mempunyai daya kerja.

Coen melihat orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia pandai dan rajin bekerja, maka menaruh harapan besar pada orang-orang Tionghoa untuk membangun kota baru ini. Sebelum menjabat Gubernur Jenderal pada tahun 1618, ia sudah berusaha membujuk orang Tionghoa yang berada di Banten supaya pindah ke Batavia, usahanya ini selalu mendapat tantangan hebat. Mangkubumi Banten R. Ranamenggala yang tak menginginkan penduduknya yang rajin-rajin itu meninggalkan Banten.

Orang-orang Tionghoa yang berdiam di Jepara, Tuban, dan Cirebon telah dibujuk oleh Coen supaya berpindah ke Batavia dengan memberikan “hak istimewa” dan peraturan lunak terhadap mereka yang mau pindah. Hak istimewa ini di antaranya pembebasan untuk membayar pajak atau cukai dan perlakuan yang baik terhadap mereka. Kantor VOC di Jepang juga diberi tugas untuk membujuk orang-orang Tionghoa pindah ke Batavia. Bagi mereka yang mau pidah dapat diangkut dengan kapal-kapal Kompeni dengan cuma-cuma atau diberikan “mandgeld” selama mereka di perjalanan. Selain ini Coen jua memblokir pelabuhan-pelabuhan Manila, Malaka, dan Maccao, dengan harapan supaya pusat perdagangan pindah ke Batavia. Bahkan kapal-kapal Tionghoa yang berada di pelabuhan-pelabuhan Banten, Jepara dan Jambi digiring ke Batavia, dan memaksa para pemiliknya supaya membongkar barang-barang muatannya dan dijual di kota.

 Menculik Orang-orang Tionghoa

Mungkin bujukan dan kekerasan lainya yang dilakukan terhadap orang Tionghoa masih kurang memuaskan, maka Kompeno-pun pada suatu saat telah memerintahkan untuk menculik orang-orang Tionghoa dari pelabuhan Tiongkok, Jepang dan dimana saja yang banyak terdapat orang Tionghoa, orang-orang culikan ini dibawanya ke Batavia, dimana mereka dipekerjakan secara paksa dengan diberi upah yang lumayan.

Tentang penculikan orang-orang Tionghoa ini dalam suratpesanannyta kepada Pieter de Carpentier, Coen antara lain menyatakan bahwa supaya mengirimkan kapal-kapal ke pantai Tiongkok untuk menculik kanak-kanak Tiongkok, harus banyak menangkap orang-orang Tionghoa. Terutama kaum wanita supaya dibawa ke Batavia, Ambon, dan Banda; dan jangan sampai kaum wanita ini pulang ke negerinya atau membiarkan mereka pergi ke tempat-tempat bukan dalam kekuasaan VOC. Karena mendapat upah yang lumayan, maka lambat-laun jumlah orang Tionghoa makin meningkat, makin banyak juga orang Tionghoa yang dengan suka rela bermukim di Batavia.

Selain tindakan-tindakan yang keras dari Coen, ia juga memberi kesempatan yang cukup bagi orang-orang Tionghoa yang rajin untuk berusaha di lapangan ekonomi dengan leluasa, dalam membangun kota yang baru itu. Mereka mendapat kedudukan agak baik dalam masyarakat, sebagai saudagar,tukang-tukang yang ahli, pengusaha, pertanian maupun perikanan.

Dapat dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa inila yang mengurus “proviandering” atau persediaan bahan makanan untuk orang-orang Kompeni di Batavia, karena mereka merupakan “schakel”, hubungan satu-satunya antara orang Belanda dan Pribumi yang kebanyakan berada di pedalaman.

Penghargaan Coen terhadap Orang Tionghoa

Orang-orang Tionghoa yang rajin bekerja itu merupakan bantuan yang sangat berharga bagi orang-orang Belanda yang pada waktu itu sangat kekurangan tenaga-tenaga kerja. Orang-orang Tionghoa ini menduduki tempat di segala lapangan perekonomian, dari saudagar hingga tukang sapu. Maka tidak heran kalau Coen memuji orang-orang Tionghoa setinggi langit atas kegiatan itu, sebagai tenaga pembangun kota Batavia yang baru dibentuk itu.

Deer is geen volk die ons beter dan Chinesen dienen” (Tidak ada bangsa yang mengabdi kepada kita lebih baik daripada bangsa Tionghoa), demikian Coen menulis kepada “de Heeren Zeventien” di negeri Belanda.

“Kapitan” Tionghoa pertama, Souw Beng Kong (orang Belanda memanggilnya Bencon) adalah sahabat baik Coen, (kuburannya terletak di jalan Jakarta, dekat Mangga Dua, Jakarta yang hingga kini masih dalam keadaan baik). Sahabat baik Tionghoa lainnya adalah dari Banten, atas anjuran Coen ia pindah ke Batavia dengan meninggalkan segala harga bendanya, Coen memberi kepadanya sejumlah uang yang cukup besar untuk ia berusaha kembali di Batavia. Ketika dalam tahun 1623 Coen pulang ke negeri Belanda, dari Tafelbaal di Afrika Selatan ia tak lupa mengirim salamnya kepada sahabat-sahabatnya bangsa Tionghoa.

Demikianlah peranan orang-orang Tionghoa dalam pembangunan kota Batavia, dan kepentingannya sebagai faktor perekonomian yang semulanya telah diakui oleh Coen dan VOC, tapi kedudukan mereka ini lambat laun menjadi buruk, kerap kali ditindas. Pada tahun 1717 Gubernur Jenderal Christoffel van Swol telah melakukan tindakan yang oleh F.de Haan dalam “Oud Batavia” dengan euphemisme disebut “onverstandige maatregelen” (tindakan-tindakan tolol); dan akhirnya ada tahun 1740 sinofobi, ketakutan terhadap orang-orang Tionghoa yang berlebihan dalam persaingan ekonomi ini memuncak, hingga dilakukannya suatu massacre, penyembelihan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa. (BB)

KARTU NAMA CAK GARIS